PENEGAKAN HUKUM HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL

1.        Latar Belakang
Dengan berakhirnya perundingan Uraguay Round serta disetujuinya hasil perundingan tersebut oleh para menteri dari negara peserta di Marakesh, Maroko 15 April 1994, maka sistem perdagangan internasional mengalami fase baru. GATT telah berkembang dalam wujud baru sebagai World Trade Organization (WTO) yang akan menjadi organisasi internasional dengan atribut serta wewenang yang jauh lebih luas dari pada GATT. Dengan perkembangan ini maka sistem perdagangan internasional mengalami penyegaran agar lebih dapat menghadapi tantangan baru.
Dua bidang utama yang belum pernah ditangani oleh GATT adalah masalah perdagangan jasa-jasa atau trade in services dan masalah hak kekayaan intelektual atau trade related aspects of intellectual property rights. Indonesia sebagai negara yang terkait dengan persetujuan tersebut telah melakukan ratifikasi hasil Putaran Uruguay di Marakesh, Maroko tersebut yang dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan yaitu Undang-Undang No. 7 Tahun 1994 tentang pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia).
Dengan meratifikasi paket persetujuan Uruguay tersebut maka konsekuensinya Indonesia harus berasaha menegakkan prinsip-prinsip pokok yang dikandung dalam persetujuan tersebut termasuk didalamnya mencakup Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights including Trade in Counterfeit Goods (TRIP's). yaitu aspek-aspek dagang yang terkait dengan hak kekayaan intelektual termasuk perdagangan barang palsu. TRIP's intinya mengatur ketentuan-ketentuan dibidang Hak Kekayaan Intelektual yang hams dipatuhi dan harus dilaksanakan oleh negara-negara anggota. Hasil dari kesepakatan tersebut akan sangat banyak membawa pengaruh kepada pengaturan dibidang Hak Kekayaan Intelektual (selanjutnya disebut HKI) di negara-negara anggota WTO. Hal demikian terjadi karena persetujuan TRIP'S memuat beberapa ketentuan yang harus ditaati oleh negara penandatangan kesepakatan tersebut, yaitu kewajiban bagi negara-negara anggota untuk menyesuaikan peraturan perundang-undangan HKI. Indonesia sebagai penandatangan persetujuan tersebut tidak bisa lepas dan ketentuan tersebut sehingga Indonesia harus memasukkan ketentuan tersebut dalam peraturan. perundang-undangan dibidang HKI. Sehubungan dengan keikutsertaan Indonesia dalam Persetujuan TRIP'S dan kewajiban-kewajiban Pemerintah hidonesia menyesuaikan ketentuan-ketentuan dalam Persetujuan TRIP'S, Pemerintah Indonesia telah mengakomodasi beberapa ketentuan dari hasil Putaran Uruguay berkaitan dengan merek dan hak cipta yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta. Ketentuan lain dari Persetujuan TRIP's yaitu ketentuan mengenai penegakan hukum yang ketat berikut mekanisme penyelesaian perselisihan atau sengketa, yang diikuti dengan mengambil tindakan balasan dibidang perdagangan secara silang atau cross retaliation bagi Negara yang dirugikan.
Ketentuan yang juga mengacu kepada ketentuan TRIP'S yaitu norma yang memberi kewenangan negara untuk menghentikan tindakan yang diduga merupakan pelanggaran terhadap HKI. Ketentuan ini pula di Indonesia telah diterapkan dalam perundang-undangan diantaranya pada Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang Ncmor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan khususnya pada Bab X tentang Larangan dan Pembatasan Impor atau Ekspor serta Pengendalian Impor atau Ekspor Barang Hasil Pelanggaran HKI. Kewenangan tersebut diberikan kepada otoritas kepabeanan untuk menahan sementara barang impor atau ekspor yang diduga merupakan pelanggaran HKI, diatur dalam Pasal 54 Undang-Undang Tentang Kepabeanan yaitu:
"Atas permintaan pemilik atau pemegang hak atas merek atau hak cipta, Ketua Pengadilan Niaga dapat mengeluarkan perintah tertulis kepada Pejabat Bea dan Cukai untuk menangguhkan sementara waktu pengeluaran barang impor atau ekspor dari kawasan pabean yang berdasarkan bukti yang cukup diduga merupakan hasil pelanggaran merek dan hak cipta yang dilindungi di Indonesia".


Selain dari ketentuan tersebut, Pasal 62 Undang-Undang Tentang Kepabeanan mengatur tentang kewenangan lain Otoritas Kepabeanan yaitu:
"Tindakan Penangguhan Pengeluaran Barang Impor atau Ekspor dapat pula dilakukan karena jabatan oleh Pejabat Bea dan Cukai apabila terdapat bukti yang cukup bahwa barang tersebut merupakan atau berasal dari pelanggaran merek atau hak cipta".


Usaha penyesuaian antara ketentuan HKI yang telah berlaku disuatu negara dengan ketentuan hasil Putaran Uruguay tersebut tidak hanya dilakukan oleh Indonesia tetapi juga oleh negara-negara lain. Hal demikian dilakukan untuk mengantisipasi kebutuhan dalam pergaulan ekonomi global karena dirasakan bahwa didalamnya banyak manfaat yang dapat diraih dengan keikutsertaan dalam persetujuan Putaran Uruguay dan menjadi anggota WTO. Manfaat yang dapat diraih diantaranya berupa kemungkinan terbukanya peluang pasar internasional yang luas juga tersedianya mekanisme penegakan hukum sebagai perlindmigan multilateral yang lebih baik bagi kepentingan nasional dalam perdagangan internasional.
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 87/PMK.01/2008 tentang Struktur dan Organisasi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) dan PMK Nomor 100/PMK.01/2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Keuangan menetapkan fungsi utama DJBC yaitu fasilitator perdagangan (Trade Facilitator), dukungan industri (Industrial Assistance), pelindung masyarakat (Community Protector), dan penghimpun penerimaan negara (Revenue Collector). Sesuai amanat undang-undang, DJBC memiliki kewenangan untuk penegakan hukum dibidang HKI terutama yang berkaitan dengan. impor dan ekspor.
Pada kenyataannya, dipasaran bebas di dalam negeri terjadi pelanggaran HKI yaitu adanya barang-barang dengan merek palsu atau barang-barang bajakan hasil hak cipta yang berasal dari impor yang secara umum adalah pelanggaran terhadap persetujuan TRIP'S maupun HKI dilain pihak juga merugikan pemegang hak secara komersial dan juga merugikan   konsumen karena mendapatkan barang palsu. Kejahatan atau pelanggaran HKI dapat dijumpai diberbagai tempat dan terjadi hampir setiap hari. Sebagai contoh misahiya perdagangan buku-buku bajakan di kaki lima, foto copy buku tanpa izin pengarangnya, rekaman film atau lagu bajakan yang dijual secara murah, merek-merek palsu atau pakaian dan jeans yang sangat laku dan dijual diberbagai tempat. Contoh lain adalah pemalsuan merek alat pertukangan tangan (kikir dan gergaji) merek Kapman Ab berkedudukan di Swedia, produk kacamata merek Zerox palsu yang diimpor dan diedarkan oleh pemilik Optik Mentari dan Optik Malioboro Jakarta yang digugat oleh pemilik hak merek Kardon (HK) Limited. Selain dari itu juga Software bajakan meliputi Microsoft, Autodesk, Adobe, dan Symantec yang disita oleh Bareskrim POLRI.
Berkembangnya perdagangan melewati batas-batas negara dan adanya perdagangan bebas mengakibatkan semakin terasa kebutuhan perlindungan terhadap hak kekayaan intelektual (HKI) yang sifatnya tidak lagi timbal balik tetapi sudah bersifat antar negara secara global. Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) mengatur dan mewajibkan kepada negara-negara anggotanya untuk memberikan perlindungan yang ketat terhadap HKI. Peraturan nasional harus mengakomodasi ketentuan ini. Untuk itu Indonesia telah mengeluarkan Undang-undang yang mengatur tentang HKI diantaranya adalah Undang-Undang tentang Merek dan Undang-undang tentang Hak Cipta. Selain daripada itu negara-negara anggota WTO juga harus menetapkan otoritas kepabeanan (Customs Authorities) untuk melakukan penegakan hukum HKI (Article 51.TRIP'S). Sejalan dengan meningkatnya perdagangan internasional dan semakin meluasnya pelanggaran HKI yang melintasi batas-batas negara, maka disadari pentingnya peranan yang dapat dilakukan oleh Otoritas Kepabeanan dalam melaksanakan perlindungan HKI. Beberapa potensi yang dimiliki oleh Otoritas Kepabeanan adalah antara lain:
a.         Otoritas Kepabeanan berada di perbatasan negara (pelabuhan laut, pelabuhan udara, perbatasan darat) sebagai aparat pengawas lalu lintas barang memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan atau pemeriksaan fisik barang serta memeriksa dokumen terkait.
b.         Otoritas Kepabeanan memiliki kewenangan untuk menegah (menahan sementara) ataupun menyita barang-barang yang diduga melanggar HKI.
c.         Dengan kerjasama dengan institusi kepabeanan di berbagai negara, Otoritas Kepabeanan dapat memperoleh informasi tentang hal-hal yang berkaitan dengan pelanggaian HKI.
d.        Dengan informasi yang dimiliki dari berbagai stunber Otoritas Kepabeanan dapat mengidentifikasi dan menangani asal barang yang diduga melanggar HKI.
Dalam posisinya sebagai aparat pengawas lalu lintas barang baik yang masuk maupun yang keluar dari wilayah Indonesia, Otoritas Kepabeanan diwajibkan mengendalikan dan mengawasi atau menegakkan hukum atas impor atau ekspor barang hasil pelanggaran HKI sebagai lanjutan dari ratifikasi WTO. Ketentuan yang ada pada Article 51 sampai dengan 60 TRIP'S Agreement diimplementasikan dalam Pasal 54 sampai dengan 64 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan. Otoritas Kepabeanan melaksanakan fungsi penegakan hukum dengan cara menangguhkan pengeluaran barang dari kawasan pabean untuk memberikan kesempatan kepada yang berhak atas HKI (dalam hal ini Merek dan Hak Cipta) untuk mengambil tindakan hukum.
Penangguhan pengeluaran barang dilakukan dengan dua cara yaitu : berdasarkan perintah tertulis dari Ketua Pengadilan Niaga atas perrnintaan pemilik / pemegang HKI dengan mengajukan bukti-bukti yang cukup mengenai adanya pelanggaran HKI disertai penempatan jaminan untuk dipertaruhkan dan penangguhan pengeluaran barang dari kawasan Pabean karena jabatan.
Dalam Article 51 TRIP'S Agreement diatur bahwa dalam hal pemilik atau pemegang hak memiliki bukti yang cukup untuk menduga adanya impor barang yang melanggar Merek atau Hak Cipta ia dapat mengajukan permintaan tertulis kepada pihak yang berwenang-administratif atau yudisial (di Indonesia Ketua Pengadilan Niaga) untuk dilakukannya penangguhan pengeluaran barang oleh Otoritas Kepabeanan.
Dengan dipilihnya jalur permintaan penangguhan pengeluaran barang melalui pengadilan maka Pengadilan Niaga berwenang menetapkan penangguhan sementara pengeluaran barang maupun untuk memutus perkara pelanggaran HKI.
Berdasarkan Pasal 54 UU Nomor 17 Tahun 2006 maka jenis-jenis HKI yang dapat dimintakan penangguhan pengeluaran oleh Otoritas Kepabeanan, meliputi Merek dan Hak Cipta. Dalam TRIP’S sendiri standar minimum yang ditentukan bagi jenis HKI yang dapat ditangguhkan pengeluarannya oleh Otoritas Kepabeanan hanya meliputi Merek dan Hak Cipta.
Perjanjian mengenai Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIP'S) atau Aspek Dagang Hak Kekayaan Intelektual (HKI) merupakan salah satu perjanjian yang dihasilkan oleh perundingan Uruguay Round yang telah berjalan dari tahun 1986 hingga 1994.
Pada tanggal 15 April 1994 di Marrakesh/Maroko, perjanjian hasil perundingan Uruguay Round sebagai sutu paket ditandatangani oleh para Menteri Negara-negara peserta. Setelah menandatangani perjanjian, pemerintah masing-masing negera peserta mengikuti prosedur konstitusional yang berlaku untuk meratifikasi atau mengesahkan keikutsertaan mereka dalam perjanjian. Penandatanganan ratifikasi tersebut harus selesai tanggal 1 Januari 1995 agar negara tersebut menjadi founding member (pendiri) dari organisasi baru pengganti GATT, yakni Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO).
Indonesia telah menyelesaikan prosedur ratifikasi dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1994 Tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia).
Dengan demikian Indonesia siap memberlakukan kewajiban dalam perjanjian sesuai dengan ketentuan dalam perjanjian tersebut.
Perjanjian HKI merupakan salah satu bagian integral dari perjanjian Uruguay Round. Dalam perjanjian mengenai HKI tersebut terdapat hal-hal pokok yang merupakan cakupan perjanjian tersebut : (a) ketentuan umum dan prinsip-prinsip dasar; (b) standar mengenai pemberian hak, lingkup dan pemanfaatan HKI; (c) penegakan hukum di bidang HKI; (d) perolehan dan pemeliharaan HKI berikut prosedur "inter-partes " yang terkait; (e) pencegahan dan penyelesaian sengketa; (f) ketentuan peralihan; (g) ketentuan tentang kelembagaan dan ketentuan penutup.
Dalam penerapan perlindungan HKI, perjanjian Uruguay Round juga menerapkan prinsip-prinsip GATT/WTO yang berlaku. Pertama, ada prinsip national treatment, yakni pemilik HKI asing hams diberi perlindungan yang sama dengan warganegara dari negara yang bersangkutan. Kedua, prinsip most favoured nation (MFN) atau non diskriminasi antara pemilik HKI asing dari satu negara dibandingkan dengan pemilik HKI asing dari negara lain. Dengan kata lain, tidak boleh ada perlakuan kepada pihak asing yang berasal dari suatu negara yang lebih baik dari pada perlakuan terhadap pihak asing dari negara lain. Ketiga, aspek transparansi, yang juga merupakan salah satu prinsip utama GATT/WTO akan memaksakan negara anggota untuk lebih terbuka dalam ketentuan perundang-undangan dan pelaksanaan aturan nasional dalam bidang perlindungan HKI. Pada berbagai bidang HKI ada referensi kepada perjanjian-perjanjian lain mengenai ketentuan yang telah berlaku dan yang menjadi patokan mengenai apa yang menjadi hak yang dilindungi, sejauh mana perlindungan diberikan dan bagaimana perlindungan tersebut diterapkan. Secara keseluruhan dapat dikemukakan bahwa standar perlindungan yang diterapkan dalam perjanjian adalah standar perlindungan minimal yang telah tertuang dalam perjanjian-perjanjian yang sudah ada yang dikembangkan dalam perjanjian dan konvensi yang dicapai dalam naungan World Intellectual Property Organization (WIPO). Perjanjian menetapkan norma-norma dan standar substantif minimum untuk perlindungan HKI. Hal tersebut termasuk kewajiban untuk memenuhi konvensi internasional mengenai perlindungan HKI yang relevan dan ada yaitu The Paris Convention, The Berne Convention, The Rome Convention dan Treaty on Intellectual Property in Respect of Integrated Circuits (Washington Treaty).
Negara anggota perjanjian juga dapat memberlakukan perlindungan yang melebihi dari yang diharuskan oleh perjanjian dalam ketentuan nasionalnya dengan syarat tidak boleh bertentangan dengan ketentuan yang berlaku dalam perjanjian. Hal ini dapat merupakan suatu sumber penekanan yang akan meningkatkan tingkat perlindungan umum bagi HKI melalui penggunaan resiprositas yang dapat dicari di dalam sektor-sektor lainnya.
Perjanjian HKI dalam Uruguay Round menentukan cara penerapan perlindungan HKI. Dalam perjanjian tersebut ketentuan mengenai pemaksaan atau enforcement dirumuskan dengan tujuan untuk merumuskan prosedur-prosedur yang sifatnya spesifik. Namun demikian, prosedur tersebut tidak boleh disalahgunakan atau digunakan untuk mencegah kegiatan perdagangan yang wajar. Ketentuan mengenai enforcement terdapat pada Bagian III Articleicle 41 (1) TRIP'S:
"Members shall ensure that enforcement procedure as specified in this Part are available under their law so as to permit effective action against any act of infringement of intellectual property rights covered by this Agreement, including expeditious remedies to prevent infringements and remedies which constitute a deterrent to further infringements. These procedure shall be applied in such a manner as to avoid the creation of barriers to legitimate trade and to provide for safeguards against their abuse ".


Perjanjian GATT/WTO juga menentukan prosedur yudisial (civil and administrative procedures and remedies) termasuk langkah yudisial yang bersifat sementara untuk mencegah terjadinya pelanggaran HKI serta prosedur untuk memperoleh bantuan dari otoritas kepabeanan guna mencegah terjadinya impor barang melanggar HKI. Dalam hal yang menyangkut penggunaan merek dagang oleh pihak lain dan kegiatan pemalsuan maupun pembajakan hak cipta dalam skala yang cukup besar, negara anggota diminta menerapkan prosedur kriminal termasuk sanksi dalam bentuk hukuman penjara dan denda yang cukup memadai agar memberikan efek jera dan penangkal terhadap kegiatan tersebut (Article 61 TRIP'S : include imprisonment and/or monetary fines sufficient to provide deterrent).
Untuk hal-hal yang menyangkut penanganan dalam lalu lintas barang yang melewati perbatasan wilayah pabean atau border measures, perjanjian mengandung ketentuan mengenai langkah yang hams diambil oleh otoritas kepabeanan. Tetapi dalam ketentuan tersebut ada pula syarat-syarat yang diuraikan untuk mencegah penyalahgunaan dari tindakan-tindakan preventif yang diminta untuk dilakukan oleh pihak yang menuduh adanya pelanggaran HKI. (Article 52 TRIP'S:
to provide adequate evidence and to supply a sufficiently detailed description of the goods).


Pada tanggal 12 September 1947, 13 negara anggota Komite Kerja Sama Ekonomi Eropa sepakat untuk mendirikan kelompok studi guna melihat kemungkinan untuk mewujudkan satu atau lebih Persatuan Pabean Eropa yang didasarkan pada prinsip-prinsip GATT. Setahun kemudian, kelompok studi tersebut mendirikan dua komite, yaitu Komite Ekonomi dan Komite Pabean. Dalam perkembangan selanjutnya Komite Ekonomi menjadi Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD). Sementara Komite Pabean menjadi Dewan Kerjasama Pabean atau dikenal dengan nama Customs Cooperation Council (CCC) yaitu suatu organisasi dunia antar pemerintah yang independen dengan anggota terdiri dari 173 negara.
Secara organisasi CCC didirikan pada 15 Desember 1950 tetapi pertemuan resmi pertama diadakan pada 26 Januari 1953. Dalam sidang tahu 1994, CCC telah mengesahkan nama baru yaitu World Customs Organization (WCO), yang menjadi pasangan seiring (partner) WTO dalam pengaturan perdagangan intemasional dan penegakan hukumnya. WCO bertugas memperlancar pelaksanaan penyederhanaan dan penyelarasan formalitas pabean di negara anggota dan juga untuk menggalakan kerjasama kepabeanan di bidang penegakan hukum.
Masalah utama yang menghambat kelancaran arus barang dalam perdagangan yang melintas perbatasan suatu negara adalah diterapkannya prosedur kepabeanan yang rumit dan berbeda-beda serta diberlakukannya berbagai macam persyaratan. Oleh karena itu, untuk mengatasi masalah tersebut, WCO telah menetapkan salah satu tujuannya yaitu menjamin tercapainya tingkat harmonisasi dan keseragaman sistem kepabeanan yang memadai dalam rangka memperlancar perdagangan. Upaya tersebut dilakukan agar dapat mengakomodasi perkembangan pola perdagangan dan teknologi yang pesat serta sekaligus lebih dapat meningkatkan efisiensi dan efektifitas otoritas kepabeanan yang pada gilirannya akan meningkatkan kemudahan perdagangan. Dalam kaitan hal ini termasuk ketentuan peraturan kepabeanan dalam bentuk undang-nndang yang sudah bisa mengakomodasi ketentuan perjanjian WTO. Berkaitan dengan hal itu, untuk mengikuti konvensi internasional dan praktek kepabeanan internasional, Indonesia telah melakukan penyesuaian undang-undang kepabeanan yang dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan.
Salah satu tugas utama Otoritas Kepabeanan adalah memberikan perlindungan terhadap masyarakat. Untuk maksud tersebut WCO menggalang negara anggota untuk meningkatkan kerjasama internasional guna memerangi pelanggaran dalam bidang kepabeanan serta melakukan kerjasama dengan organisasi internasional terkait dalam bidang penegakan hukum.
Instrumen hukum yang terpenting yang telah diluncurkan oleh WCO pada tahun 1977 untuk menggalang peningkatan kerjasama internasional adalah Nairobi Convention. Jenis pelanggaran yang tercantum dalam konvensi tersebut pada dasamya adalah pelanggaran dalam bidang perniagaan, termasuk penyalahgunaan hak kekayaan intelektual (HKI), perdagangan gelap bahan-bahan berbahaya, peralatan persenjataan, bahan beracun, barang cagar budaya, binatang serta tumbuh-tumbuhan yang dilindungi.
Masalah utarna yang dihadapi negara anggota WCO adalah masalah pencegahan dan pendeteksian pelanggaran dalam bidang perniagaan. Di negara-negara yang telah menggunakan pasar sebagai kekuatan ekonominya, tugas-tugas otoritas kepabeanan ditransformasikan pada suatu mekanisme yang efektif disamping untuk melindungi pasar dalam negeri, mengatur arus permintaan dan penawaran tetapi juga sekaligus untuk memberikan perlindungan kepada pelaku usaha yang memerlukan perlindungan hak kekayaan intelektual (HKI).
Pada abad ke-21, otoritas kepabeanan diseluruh dunia disamping harus berjuang dengan keras untuk meningkatkan kemudahan perdagangan melalui peningkatan kelancaran arus barang, juga pada saat yang sa/na harus berusaha untuk mengatasi modus operandi yang digunakan untuk melakukan pelanggaran dibidang kepabeanan.
Sejalan dengan usaha-usaha WCO, otoritas kepabeanan Indonesia berusaha untuk terus meningkatkan pelayanannya, baik melalui peningkatan profesionalisme aparatnya, sistem prosedur kepabeanan serta penerapan teknologi maju.
Pada saat pendiriannya, organisasi WCO hanya memiliki 17 negara anggota saja. Kemudian dalam perjalanannya WCO telah tumbuh dan berkambang menjadi suatu organisasi dunia antar pemerintah yang besar dan dhiamis dengan jumlah anggota dari 173 negara, yang merupakan organisasi dengan jumlah anggota terbesar setelah PBB. Tujuan utama WCO adalah untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi otoritas kepabeanan dibidang-bidang yang dapat meningkatkan pemberian kemudahan perdagangan dan perlindungan kepada masyarakat (termasuk HKI) yang pada gilirannya akan meningkatkan kesejahteraan ekonorai dan sosial para anggotanya. Dalam rangka mewujudkan misinya, WCO menyelenggarakan tugas-tugas sebagai berikut:
a.         Membuat, memelihara, menunjang dan memperlancar penggunaan instrument internasional untuk mengharmonisasikan dan menyeragamkan penerapan sistem kepabeanan yang sederhana dan efektif serta prosedur arus barang, orang dan transportasi yang melewati daerah pabean.
b.         Meminta agar para anggota berusaha sedapat mungkin untuk menjamin terpenuhinya ketentuan kepabeanan masing-masing, khususnya yang berkaitan dengan optimalisasi usaha peningkatan kerjasama sesama anggota dan dengan lembaga intemasional terkait lainnya dalam rangka meningkatkan usaha-usaha memerangi pelanggaran di bidang kepabeanan dan lain-lain pelanggaran yang terkait.
c.         Membantu negara anggota di dalam usahanya menghadapi tantangan yang timbul sebagai akibat digunakannya teknologi di sektor perdagangan serta untuk menyesuaikan diri pada lingkungan / yang cepat berubah dengan cara meningkatkan komunikasi dan kerjasama antar sesama anggota serta dengan organisasi intemasional lainnya, menyempurnakan metode manajemen dan kerja otoritas kepabeanan serta di dalam berbagai pengalaman.

No comments:

Post a Comment